Perpustakaan Pribadi

Yeay! Akhirnya bisa memulai project perpustakaan pribadi dengan serius.

Waktu kecil dulu, saat Bapak sibuk bikin lemari besar yang katanya untuk rak buku, lalu kemudian lemari itu berdiri dengan gagah di ruang tamu kami dengan deretan buku-buku Bapak yang berjilid-jilid itu, aku terpesona. “Woooow”.

Sejak itulah, segalanya ingin seperti Bapak. Suka baca, rajin beli buku, ingin jadi penulis, dan tentunya … bikin perpustakaan pribadi, oh satu lagi, dulu aku ingin sekali punya penerbit sendiri. Hehehe.

Awalnya Bapak cuma punya satu rak buku besar. Kemudian karena buku-bukunya semakin banyak dan terus bertambah, akhirnya diputuskan untuk membuat lemari baru. Iya. Bapak gamau beli rak buku yang udah jadi di toko-toko mebel, tapi selalu pengen bikin sendiri, dengan design sendiri, dan kualitas kayu yang dipilih sendiri. Uh~

Alhamdulillah aku memang lahir dari keluarga yang suka baca buku. Hampir di setiap sudut rumah, pasti ada buku. Dan kayaknya juga ga afdhol kalau di kamar ga ada buku. Makanya, sejak kecil aku udah dijejelin buku-buku. Sampai akhirnya juga tersesat karena buku. Eh? Skip.

Aku udh pernah bikin perpustakaan pribadi kecil-kecilan waktu di kosan. Meski pencatatannya belum rapi, karena manual, di buku. Jadi pas bukunya hilang, hilang juga semua data orang yang meminjam dan siapa saja yg belum mengembalikan. Hmm … aku kehilangan beberapa novel kesayangan :(( gapapa.

Karena aku pengen banget bikin perpustakaan pribadi ini. Beberapa kali sempat searching gimana caranya bikin perpustakaan yang ideal. Ngertinya sedikit, ga ngertinya banyak. Apalagi pas baca tentang bikin kode-kode buku, duh jelimet. (Rumit. Kayak perempuan. Haha). Makanya, project perpustakaan pribadi ini terus ditunda karena selalu stuck pas mau mulai bikin katalog bukunya.

Alhamdulillah beberapa waktu lalu searching lagi, dan ketemu pengalaman pribadi Pak Rully Cahyo, seorang Ayah yang baru saja menyelesaikan projek perpustakaan keluarganya. Isinya mencerahkan banget! Ternyata bikin perpustakaan pribadi ga susah, tapi justru simple dan gampang. Ini beberapa poin di antaranya:

  1.  Katalog

Aku udah mulai ikutin langkah pertamanya, yaitu bikin katalog buku-, yang ga ribet tentunya. Sama dengan alasan Pak Cahyo di ceritanya, “biar mudah ngejelasin ke anak nanti”. Hehe

Kalau Pak Cahyo pakai Google Spreadsheet, aku pakai Ms. Excel, dengan sub-sub judul yang hampir sama.

Aku tambahin sub: cetakan ke-, penerbit, dan tahun beli. Alasannya karena … hmm ya mau aja. Hoho~~ Lalu di ujungnya ada sub: Status. Apakah buku itu ada, atau sedang dipinjam.

Waktu pertama kali ngedata semua buku itu, masih random, yang penting semua buku masuk katalog dulu. Baru kemudian dengan kecanggihan Ms. Excel, klik Sort, dalam sekejap data-data itu langsung tersusun sesuai urutan abjad. Seneng banget, ga cape~

Selain itu, dalam Ms. Excel juga ada tools Filter, di mana aku jadi bisa tahu, kategori buku apa yang paling banyak. Ini juga memudahkan untuk pendataan statistik pada sheet berikutnya. Masih dengan Filter, kita bisa langsung tahu buku apa saja yang sudah dimiliki dari penulis yang sama, pun juga kita bisa langsung tahu buku apa saja yang sedang dipinjam.

Membuat katalog ini memang butuh waktu yang cukup lama (kalau bukunya banyak banget). Apalagi saat memasukkan nomor ISBN yang bikin pegel. Alhamdulillah kemarin aku selesai ga lebih dari lima hari (karena pengangguran sih, jadi waktunya luang. Haha) baru setelahnya editing selama dua hari. Itu baru buku-buku yang ada di Jakarta, belum yang di rumah. Hmm. Gapapa. Jadi nanti tinggal ngedata buku-buku kamu. *eh

Nah, setelah selesai membuat katalog. Buku-buku itu disusun di rak sesuai dengan kategorinya masing-masing. Menurut aku, ini manfaat yang paling penting ketika membuat perpustakaan pribadi. Kita jadi lebih mudah untuk mencari dan membaca buku karena disimpan sesuai dengan kategori-kategori tertentu.

Untuk pengkategoriannya, aku pakai sistem sendiri, disesuaikan dengan kebutuhan. Sampai saat ini, kategori Novel dan Sastra, dan Kristologi menjadi kategori yang paling banyak bukunya. Urutan kedua, dengan jumlah buku yang sama, diduduki oleh Agama dan Pemikiran. Memang empat kategori itu jadi bacaan favorit aku, jadi wajar kalau jumlahnya lebih banyak dari yang lain. 

2. Rak/Lemari Buku

Waktu di kosan dulu, aku pakai lemari kayu yang ada pintunya. Jadi insyaallah aman dari debu. Tapi karena pintunya terbuat dari kayu juga, jadi sepintas itu kayak lemari baju. Meskipun di atas rak-nya banyak tersusun buku. Aku setuju dengan pendapat istri Pak Cahyo yang menyarankan pintu rak-nya dari kaca, transparan. Pertama, bebas dari debu. Kedua, terlihat dari luar kalau di dalam lemari itu banyak buku. Bukan sombong atau riya’ sih, ya biar kelihatan aja gitu kesan perpustakaan-nya. Muehehe.

Beberapa hari yang lalu juga sempat searching design rak buku yang ada pintu kacanya. Kebanyakan ga sesuai dengan yang aku mau, banyak alasannya.

Menurutku ini bagus, full kaca. Tapi kayaknya terlalu berisiko kalau punya anak yang masih kecil. Belajar dari pengalaman keponakanku, Arasy, yang usianya dua tahun, sudah pintar merusak barang, melempar, memukul, dll. Jadi menurut aku ini kurang safety.

Design yang ini mungkin bisa jadi pilihan yang bagus, minimalis. Tapi mungkin akan butuh beberapa lemari karena buku-buku yang dimiliki lumayan banyak.

Karena aku tipe librocubicularist, aku juga selalu bermimpi punya ruangan perpustakaan pribadi dengan satu ranjang di salah satu sudutnya. Tiduran di atas kasur dengan buku-buku yang berserakan. *huaaah ngeces nih


Design seperti ini juga bagus, tidak terlalu memakan tempat. Simple, di dinding. Mungkin bisa lebih aman juga, tidak mudah untuk “diacak-acak” anak kecil nanti. 

Well, untuk masalah rak buku sepertinya akan aku tunda sampai nanti menikah. Karena sekarang aku masih nomaden. Lemari kayu yang kemarin saja sekarang tidak terpakai, ditinggal di kosan lama karena terlalu berat (dan repot) untuk dipindahkan ke rumah. Belum lagi selera suami aku nanti yang mungkin berbeda. Jadi lebih baik kita bicarakan lagi nanti, ya 🙂 *ekhem

Seperti yang Pak Cahyo bilang, bahwa membuat perpustakaan keluarga yang bagus bukanlah sebuah investasi yang sia-sia. Buku, lemari, dan katalognya, dapat digunakan oleh anak cucu kita. Beliau mengutip slogan perpustakaan Kerajaan Belanda, 

“lezen is dromen met je ogen open.” 

Membaca adalah bermimpi dengan kedua matamu yang terbuka.

Jadi, ayo teman-teman, budayakan membaca buku-buku yang bermanfaat. Sisihkan uang untuk membeli (minimal) satu buku setiap bulan. Karena anakmu tidak butuh rupamu, tapi isi (hati dan) kepalamu. 

Semoga bermanfaat.

Garut, Oktober 2018

9 thoughts on “Perpustakaan Pribadi

Add yours

  1. Dulu saya pernah ikut2an magang di perpus mahasiswa, bagian yg input data. Di antara kolom2nya ada isbn juga dimensi buku dan yg lainnya, banyak weh.

    Format kolom2 itu kan emang dari assabiqunal awwalun gitu ya, tapi gegara kami liat faedahnya kurang jadi sebagian kolom kami hapus. Kayak isbn sama dimensi buku tadi.

    Makanya jadi keinget, sebebernya isbn di katalog itu faidahnya apa sih buat kita?

    Btw, Mupeng deh sama rak kitabnya. Apalagi itu foto ruang baca+tidur. 🤤

    Liked by 1 person

    1. Nah, saya juga awalnya mikir gitu. Udah mah ribet, terus buat apa? Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kode isbn itu bermanfaat buat pengecekan sama alat scanner. Kayak mbak-mbak yang di supermarket gitu looh. Jadi kalau misalnya beberapa tahun ke depan, perpustakaan pribadi ini semakin besar, dan Allah takdirkan buat punya alat scanner gitu pas org2 mau pinjem, kan enak, isbn-nya udh masuk.

      Like

  2. Sy jadi mau nih punya rak buku yg dekat dgn tmpt tidur tuh..hehe

    Oh iya pasti seru hidup dgn kluarga yg gemar baca. Jadi bisa slg memotivasi utk koleksi buku

    Sukses mbak utk impiannya. Semangat!

    Liked by 1 person

Leave a reply to sondang Saragih Cancel reply

Blog at WordPress.com.

Up ↑